HUBUNGAN KEBATINAN MUHAMMADIYAH DAN KERATON NGAYOGJAKARTO HADININGRAT

Mas Surahman

0 Comment

Link
FB IMG 1511080115574 jpg

Tulisan menarik sebagai refleksi Ber MUHAMMADIYAH 

Masjid Kauman Jogja megah berdiri. Kokoh diantara luasnya alun-alun, deretan pohon beringin tumbuh angker, setia menjaga marwah ka-Sultanan. Sebuah monumen yang mengisahkan pertautan jiwa dan pikiran antara Sri Sultan Hamengkubuwana VIII dengan Kyai Haji Ahmad Dahlan saat itu. 

Betapapun Kyai Dahlan berusaha mewarisi para pendahulunya untuk tetap beriringan bersama Sri Sultan sebagai Sayyidin Panoto Gomo, menegakkan tiang agama ber-Amr Ma’ruf dan Nahy Munkar. Bukan mengambil posisi saling berhadapan. 

Pun dengan kakek buyutnya, Kyai Wiryokusumo bersama Sri Sultan Hamengkubuwana I sebagai pendiri dan penggagas masjid Kauman Jogja yakin bahwa menegakkan syariat agama tak bisa dilakukan sendirian. Ulama dan umara bahu membahu meletakkan dasar-dasar keagamaan. Islam menjadi tegak berdiri, kokoh dan kuat karena ulama dan umara berdiri dalam satu shaf. 

Bukan seperti saat sekarang, ulama dan umara saling merendahkan dan mencela akibatnya perpecahan ada dimana-mana. 

Jangan salahkan bila penguasa membiarkan pintunya terbuka berteman dengan berandal dan kecu karena ulama pergi menjauh. Bahkan tak jarang bermusuhan dengan alasan nahy munkar. 

Para wali menutup rapat pintu dan jendela penguasa dengan doa dan dzikir. Menugaskan para santrinya menjaga halaman para penguasa agar tak dimasuki para berandal dan pencoleng. Termasuk membangun masjid di alun-alun keraton sebagai simbol kekuasaan agama atas umara.

Muhammad Darwisy, pemuda cerdas, pemberani dan pintar telah memikat hati Sri Sultan. Lahir diantara puluhan tokoh dan ulama dengan pemahaman tua yang merapuh. Darwisy menjanjikan banyak harapan juga cita-cita kaum muda. Sinuhun bersetuju dengan semua pikiran dan gagasan Darwisy. 

Darwisy adalah tipikal pemuda cepat belajar, tumbuh pesat dengan pengetahuan luas melampaui zamannya. Tak heran banyak gagasan dan pikirannya melawan kemapanan.

Tidak sedikit ulama tertarik dengan gaya dan pikiran progresif-nya. Sri Sultan pun terpikat, meski kemudian ‘memaksanya tetirah’ dengan menunaikan ibadah haji untuk menghindari polemik kaum tua dan kaum muda. Cara cerdas mengatasi masalah. 

Muhammadiyah lahir dari rahim keraton Ngayogjokarto Hadiningrat, dari pergumulan pusat pemikiran, adat dan tradisi kekuasaan Jawa dari sinilah Muhammadiyah lahir dan dibesarkan.  Kyai Dahlan, cicit Syaikh Maulana Malik Ibrahim dan keluarga Katib dan Imam besar masjid Kauman Jogja mengawali pergerakan. Langgar Kidoel masih megah berdiri,  kokoh sebagai saksi. 

Saatnya merajut kembali, menyatukan kembali, mentautkan kembali pikiran gagasan yang dulu tepatnya 100 tahun yang lalu pernah lekat bertaut. Saling menopang dan mendukung laksana dua mata pedang. Semangat kebangsaan yang sama, ghirah yang sama antara keraton Ngayogjokarto Hadiningrat dan gagasan pembaharuan Kyai Besar Ahmad Dahlan. 

Roh keraton dalam jiwa pergerakan Muhammadiyah layak kembali ditumbuhkan. Sebuah esensi pergerakan yang menurut saya sempat menyusut beberapa saat. Sejenak kita pernah melupakan keraton. Kita berpaling ke lain hati. Bagaimanapun Sri Sultan Hamengkubuwana entah siapapun orangnya yang jumeneng adalah bapaknya Muhammadiyah bukan Presiden atau semacamnya. 

Muktamar MUHAMMADIYAH  mestinya sekali-sekali di buka dan ditutup oleh sinuhun Sri Sultan simbol kekuasaan Islam di Jawa. Syukur bisa dilaksanakan di ‘ndalem keraton’. 

Sebuah episentrum pusat kekuasaan dan tradisi Jawa yang sempat kita lupakan. Kita sibuk dengan urusan ‘Jakarta’. Kita lupa bahwa Muhammadiyah lahir di Jogja, besar juga di jogja dan membawa ruh dan karakter Jogja. 

Sungkem-an rombongan Ketua PP Muhamadiyah kepada ‘panjenengan dalem si nuhun’ Sri Sultan Hamengkubuwana X  kemaren lusa adalah saat yang sangat tepat untuk menunjukkan bahwa ada hubungan kebatinan yang erat. Muhammadiyah kembali ke rumahnya. Tidak ada kata terlambat, kita terus bergerak. Mencari keseimbangan di saat negara oleng dan merapuh. 
Persyarikatan ini selalu diberkati, demikian kata peneliti senior dari Amerika Carl Whiterington tiga puluh tahun silam. Selalu bertindak benar di saat yang tepat. Sungkeman yang pas untuk situasi saat ini. Menjadi guru bangsa. Menjaga kebesaran dan marwah Persyarikatan. 

Selamat MILAD ….. 18 Nopember 2017

@nurbaniyusuf

Komunitas Padhang Makhsyar”

Mas Surahman

Tags:

Share:

Related Post

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.