Marilah bersyukur kepada Allah yang telah melimpahkan nikmat-Nya kepada kita lahir dan batin, yang menerangi hati dari kege-lapan, menuntun jiwa dari kebingungan, dan menunjuki akal dari kesesatan, sehingga kita tetap terpilih sebagai pemeluk Islam.
Shalawat dan salam kepada junjungan kita Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang telah diutus Allah bagi seluruh alam, sebagai uswah hasanah (tauladan terbaik) bagi manusia. Nabi Muhammad adalah manusia idola sepanjang masa. Sekalipun berulangkali orang-orang kafir, termasuk pengikut aliran sesat, berusaha melecehkan beliau, tapi dengan menampilkan riwayat hidupnya saja, Islam mampu membendung segala macam penistaan dari lawannya, kapan dan di mana pun juga. Tidak ada riwayat hidup manusia, tokoh apa pun di dunia ini yang ditulis sedetail dan sejelas riwayat hidup Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam; bahkan suasana tempat tidur dengan isterinya pun terekam dalam catatan sejarah. Tidak ada aib, dan tidak ada hal yang jahat yang membuat kita malu maupun takut untuk menampilkannya. Karena itu mengikuti ucapan dan menaati perbuatan beliau merupakan amal shalih.
Rahmat Allah subhanahu wa ta’ala semoga dilimpahkan kepada para kader Islam dan anak didik Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari kalangan shahabat beliau, yang sukses gemilang menciptakan sumber peradaban dunia yang tidak pernah kering dari mata air kebenaran, keadilan, kejujuran, keterus terangan dan tanggung jawab. Setiap kali mereka datang ke suatu negeri, baik sebagai da’i, pedagang, diplomat, ataupun panglima perang, adalah membawa misi untuk mentauhidkan Allah, membebaskan masyarakatnya dari kesesatan, membela mereka dari penindasan, dan melepaskan mereka dari kezaliman.
Oleh karena itu, kita ridha Islam sebagai agama dan Nabi Muhammad sebagai Rasul-Nya. Marilah kita bertaqwa kepada Allah dengan taqwa yang sebenar-benarnya. Sesungguhnya tujuan segala ibadah di dalam Islam adalah taqwallah, yang dilakukan dengan cara membersihkan jiwa dari segala bentuk kesyirikan dan meneranginya dengan dzikrullah. Firman Allah subhanahu wa ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا (70) يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا (71)
“Wahai orang-orang beriman, taatlah kepada Allah dan berkatalah dengan perkataan yang benar. Dengan begitu, niscaya semua yang kalian lakukan hasilnya akan menjadi baik dan dosa-dosa kalian akan diampuni Allah. Siapa saja yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, sungguh dia memperoleh kemenangan yang sangat besar.” [Al-Ahzab, 33: 70-71]
Ibadah Qurban
Di hari ‘Idul Adha ini, tanggal 10 Dzulhijjah 1434 H ini, berjuta-juta kaum Muslimin dari segala penjuru dunia terhampar di padang ‘Arafah, menunaikan ibadah haji, rukun Islam yang kelima. Inilah hari besar kemanusiaan dan keimanan, yang ditandai dengan syi’ar penyembelihan hewan kurban, untuk mengenang peristiwa pengorbanan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam setelah beliau menerima wahyu llahy melalui mimpi, yang memerintahkan beliau menyembelih puteranya, Ismail.
Seorang ayah yang sudah berusia lanjut, dan sedang mencurahkan kerinduan hatinya, harapan pun tertumpah pada kader muda penerus risalahnya, sekaligus putera beliau yang sedang menanjak dewasa. Dalam keadaan demikian, datanglah perintah Allah untuk menyembelih putera kesayangan dan satu-satunya itu. Sungguh ujian keimanan yang amat sukar dan berat dilaksanakan, bahkan tidak terbayangkan dari segi kemanusiaan.
Ketika Nabi Ibrahim bersiap-siap hendak menyembelih putera kesayangannya, dengan pisau tergenggam di tangan, dan Ismail pun siap menyerahkan lehernya, tiba-tiba terdengar panggilan Allah:
وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ (104) قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ (105) إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُ (106) وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ (107)
“Maka Kami berseru kepadanya: “Wahai Ibrahim, kamu telah membenarkan mimpimu. Sungguh Kami akan memberi pahala kepada orang-orang yang beramal shalih.” Sungguh perintah Allah kepada Ibrahim itu merupakan satu ujian keimanan yang sangat jelas. Kami ganti Ismail dengan seekor domba yang sangat besar.” [Ash-Shaffat, 37: 104-107]
Ibrahim ‘alaihissalam, bapak para Nabi itu sadar, ternyata Allah Yang Maha Rahman sedang menguji keimanannya. Apakah rasa sayang dan kecintaan kepada putera lelakinya, menghalanginya untuk menaati perintah Allah? Tekadnya bulat, tidak ada kebimbangan maupun keraguan, perintah Allah wajib dijalankan apapun resiko serta pengorbanan yang mesti diberikan. Nabi Ibrahim, akhirnya lulus menghadapi ujian Ilahy.
Keikhlasan dan kepasrahan Nabi Ibrahim dalam melaksanakan syari’at Allah sekalipun dengan mengorbankan harta, jiwa, bahkan putera kesayangannya. Dan kesetiaan Ismail untuk menaati ayahandanya dalam rangka melaksanakan Syari’at Allah, walau harus menyerahkan nyawanya sendiri, terpancar melalui pernyataan spektakuler dan inspiratif berbasis tauhid.
قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللهُ مِنَ الصَّابِرِينَ (102)
“Ismail berkata: “Wahai ayahku tersayang, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Insya Allah, engkau akan mendapati aku termasuk orang yang sabar.” [Ash-Shaffat, 37: 102]
Kronologi sejarah ‘Idul Qurban ini merupakan peristiwa agung yang memantul dari keteguhan iman, kerendahan hati, dan tawakal sepenuhnya kepada Allah Rabbul Alamin. Dan balasan Allah subhanahu wa ta’ala atas ketaatan mereka berdua sungguh menjadi dambaan setiap orang beriman. Mereka dianugerahi kemampuan mengalahkan hawa nafsunya demi mematuhi perintah Allah. Selain itu, mereka berdua mendapatkan pujian dan keridhaan Allah, mengangkat derajatnya serta memberikan syafaat bagi keturunan yang mewarisi pola hidup tauhid yang beliau dakwahkan.
Peristiwa bersejarah ini mengandung pelajaran, bahwa anak yang shalih dan shalihah hanya dapat lahir dari keturunan dan lingkungan keluarga yang shalih juga, sekalipun selalu ada pengecualian. Laksana pepatah, “daun jatuh tidak akan jauh dari pohonnya.”
Lebih dari itu, peristiwa ini mengajarkan kita bagaimana menjadi hamba Allah yang taat dan patuh melalui pengamalan Syari’at-Nya. Menjalankan perintah Allah dengan ikhlas, dan rela berkorban harta bahkan nyawa, itulah totalitas kepasrahan Nabi Ibrahim dan puteranya Ismail ‘alaihimassalam.
Sekiranya umat Islam dewasa ini, mengamalkan Syari’at Allah menauladani kepatuhan dan kepasrahan Nabi Ibrahim dan Ismail ‘alaihimassalam, niscaya umat Islam akan dianugerahi kemenangan menghadapi musuh-musuhnya, ditinggikan derajatnya serta dinampakkan kemuliaan di hadapan lawan-lawannya.
Namun apa yang terjadi di kalangan umat Islam sekarang? Munculnya tokoh-tokoh agama Islam yang menggunakan lisannya, bukan saja untuk merusak citra Islam di mata orang kafir, tapi juga menjadi kontributor orang kafir untuk merusak citra Islam di mata orang Islam sendiri. Mereka mencerca ajaran jihad sebagai terorisme, menganggap busana jilbab bagi Muslimah sebagai Arabisme, bahkan menolak formalisasi Syari’at Islam di lembaga Negara dan menganggapnya sebagai sektarianisme. Dengan pemahaman seperti itu, mereka mengadili ajaran Islam menggunakan parameter demokrasi dan memvonis perbuatan umat Islam berdasarkan UU HAM.
Segala kebaikan ajaran Islam, seakan hanya absah, bisa diterima bila mendapat rekomendasi demokrasi dan lolos sensor dari kontrol hak asasi manusia (HAM). Tidak sedikit dari kalangan umat Islam yang percaya, bila menginginkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia tercapai, kita harus menjalankan demokrasi secara sempurna. Masih ada yang percaya, perekonomian Indonesia akan maju bila kapitalisme global yang menghalalkan riba dan menjual barang haram menjadi sistem perekonomian Negara. Kata mereka, kemajuan teknologi dan kesejahteraan Negara hanya bisa diraih bila menggunakan sistem hidup yang tanpa embel-embel agama, seperti di Amerika dan Eropa.
Mengapa mereka selalu berfikir negatif terhadap agamanya sendiri? Mengapa umat Islam bersikap apriori terhadap Islam, lalu memilih dan memilah manakah dari ajaran Islam yang bisa dilaksnakan tanpa menyinggung rasa kemanusiaan masyarakat, dan tidak dianggap radikal oleh orang kafir. Mereka mencoba merevisi ajaran Islam agar sesuai dengan semangat toleransi ala barat dan tidak bertentangan dengan HAM versi imprialis.
Pada gilirannya, ajaran Islam yang paripurna dan mulia itu malah dibonsai oleh umatnya sendiri. Lihatlah akibatnya, di hadapan orang-orang kafir, bobot umat Islam semakin ringan. Ibarat buih yang mengapung di atas permukaan gelombang, mudah dipermainkan dan diadu domba orang kafir. Tidak percaya diri dengan Islam menyebabkan kaum Muslimin mudah ditaklukkan di banyak sektor kehidupan: politik, ekonomi, budaya, pertahanan dan keamanan.
Padahal orang-orang kafir di barat maupun timur, Amerika maupun Eropa, yang mempropagandakan paham demokrasi, selalu mengancam eksistensi umat Islam. Jika mereka memasuki negeri kaum Muslimin, baik sebagai diplomat, tentara maupun pengusaha, adalah untuk menjajah rakyatnya, mengeksploitasi kekayaan alam, menghancurkan moral, dan menghinakan masyarakat yang mulia di negeri itu. Persis intimidasi AS dengan pendekatan stick and carrot: “Jika kalian mengikuti cara hidup kami, akan kami beri dolar, tapi bila kalian melawan dan menolak misi kami akan kami kirimkan rudal.”
Inilah potret dan realita sejarah tatkala kaum kafir dan musyrik menghadapi umat Islam:
لَا يَرْقُبُونَ فِي مُؤْمِنٍ إِلًّا وَلَا ذِمَّةً وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُعْتَدُونَ (10)
”Kaum musyrik tidak mau memperhatikan hak ikatan kekerabatan dengan seorang mukmin sedikit pun, walaupun telah diadakan perjanjian. Mereka itu adalah orang-orang yang suka melanggar perjanjian.” [At-Taubah, 9: 10]
Pada masa awal Islam, orang-orang yang memeluk Islam amat dibenci oleh masyarakat Arab Jahiliyah, bahkan diperangi dan diputus hubungan kekeluargaan. Apabila dalam posisi kuat dan menang, orang-orang kafir dan musyrik selalu menindas orang Islam, memperlakukannya secara biadab dan tidak manusiawi. Dan setiap kali mengadakan perjanjian dengan orang Islam, pasti orang-orang kafir berkhianat dan melanggar perjanjian tersebut.
Apakah potret sejarah masa lalu yang telah lama tenggelam dalam kegelapan, sebagaimana diinformasikan Al-Qur’an, hanya dilakukan oleh orang-orang Arab Jahiliyah, Romawi maupun Persia? Ternyata tidak. Realita sejarah kegelapan itu menginspirasi penguasa sekuler di zaman modern ini.
Pemusnahan biadab dan terkutuk yang dilakukan para penganut paganisme Budha di Rohingya, Burma, terhadap penduduk minoritas Muslim merupakan fakta yang tidak terbantahkan. Mereka tidak peduli dengan hubungan kemanusiaan sesama masyarakat Burma. Begitu pula, perlakuan kaum Syi’ah yang bersekongkol dengan komunis di Suriah. Sedemikian biadabnya bahkan setanpun tidak akan bertindak sekejam itu.
Tragedi kemanusiaan yang menimpa Mesir, penangkapan besar-besaran terhadap anggota Ikhwanul Muslimin pasca penggulingan kekuasaan Presiden Muhammad Mursi di Mesir, 3 Juli 2013, adalah contoh warisan sejarah masa Fir’aun. Kekuasaan Mursi hanya bertahan kurang dari setahun, karena rongrongan dari pihak Kristen Koptik bersekongkol dengan militer yang di dukung Amerika dan zionis. Padahal Muhammad Mursi menjadi Presiden Mesir hasil pemilu demokratis.
Terdapat kerjasama antara komunisme, salibisme, liberalisme, paganisme dengan penguasa-penguasa sekuler yang sedang melakukan pemusnahan terhadap gerakan Islam. Mereka saling membantu berupa uluran tangan persahabatan dan dana untuk mengkhianatai perjanjian yang disepakati.
Korelasi Haji dan Kehidupan Sosial
Menyaksikan segala fenomena ini, banyak orang bertanya-tanya. Di negeri yang subur makmur, terdiri dari puluhan ribu pulau, dengan mayoritas penduduknya beragama Islam. Masjid-masjidnya indah bertebaran di seluruh pelosok negeri, pesantren dan perguruan tinggi Islam ribuan jumlahnya. Ulama, kyai, muballigh bergelar profesor, doktor, bahkan santri penghafal Qur’an begitu banyak, jauh lebih banyak dari artis sinetron atau penyanyi dangdut. Mereka berdakwah melalui TV, media massa. Para kyai dan ulama yang tadinya hanya mengelola pesantren, kini banyak yang menjadi anggota legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Mengapa segala fasilitas kebaikan ini tidak memberi pengaruh positif bagi bangsa Indonesia? Laju kemungkaran, narkoba, pornoaksi di satu sisi; kemiskinan, bencana alam, penyakit epidemi, seakan telah menjadi kekayaan bangsa ini. Kriminalitas dan dekadensi moral terus saja menghantui kehidupan generasi muda. Tindak pidana korupsi, sekalipun ada UU anti korupsi dan ada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tapi koruptor seakan tak habis-habisnya diberantas. Subhanallah!
Apa sesungguhnya yang terjadi pada masyarakat kita? Setiap tahun tidak kurang dari 200 ribu orang berangkat naik haji ke Baitullah, Makkah al-Mukarramah. Mereka yang masih memiliki akal sehat tentu bertanya-tanya, mengapa semakin banyak manusia Indonesia pergi menunaikan ibadah Haji, baik rakyat maupun kalangan pejabat, ternyata belum berpengaruh positif bagi perbaikan dan peningkatan kehidupan sosial rakyat negeri ini?
Al-Qur’anul Karim memberikan jawaban yang mencengangkan atas pertanyaan di atas, dengan mengungkapkan karakter masing-masing jamaah haji. Terdapat dua golongan manusia yang menunaikan ibadah haji. Satu golongan yang hanya mementingkan kehidupan dunia. Ibadah Haji dimaksudkan hanya sebagai kebanggaan, ajang mencari popularitas dan kemegahan dunia. Mereka sibuk hanya dengan urusan dunia, hingga terpancar dalam do’anya kepada Allah.
فَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا وَمَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ (200)
“Ada orang-orang yang ketika wukuf di Arafah berdo’a: “Wahai Tuhan kami, berilah kami kesenangan di dunia.” Orang semacam ini kelak di akhirat tidak akan mendapatkan pahala sedikitpun.” [Al-Baqarah, 2: 200]
Inilah contoh manusia yang selalu ada pada semua generasi dan semua tempat. Persepsi sebagian besar umat Islam tentang haji, hingga sekarang masih seperti orang-orang jahiliyah dahulu. Banyak para pejabat, tokoh politik, anggota DPR, MPR berulangkali pergi haji atau umrah dengan maksud sekadar wisata rohani. Ada juga artis, penyanyi atau hartawan muda pergi haji guna memohon kesuksesan usaha, naik pangkat, mencari jodoh, dll. Karena tujuannya hanya duniawi, maka seringkali mereka tidak peduli darimana mereka mendapatkan harta untuk pergi haji. Apakah dari harta yang halal atau haram, apakah dari usaha maksiat ataukah usaha yang benar, apakah hasil korupsi dan dari jual beli barang haram, tidak dipedulikan lagi.
Golongan kedua, adalah orang yang beribadah haji untuk mencari keridhaan Allah, sehingga lebih luas cakrawala pandangannya dan lebih besar jiwanya. Mereka berdo’a kepada Allah untuk kebaikan nasibnya di dua negeri (dunia dan akhirat):
وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ (201)
“Ada juga orang yang ketika wukuf di Arafah berdo’a: ‘Wahai Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, serta selamatkanlah kami dari siksa neraka.” [Al-Baqarah, 2: 201]
Orientasi ibadah golongan kedua ini lebih jauh jangkauannya. Ia menginginkan kebaikan di dunia tanpa melupakan nasibnya di akhirat. Apabila seseorang melakukan ibadah haji hanya untuk tujuan yang bersifat duniawiyah belaka, dan melupakan nasib akhiratnya, maka tidak ada bedanya dengan hajinya kaum jahiliah.
Ibadah haji yang tidak mendorong seseorang untuk berubah supaya lebih ta’at kepada Allah, tidak meningkat amal kebajikannya berarti belum memenuhi fungsi ibadah untuk taqarrub ilallah. Ibarat pepatah: “Ontanya Nabi Musa naik Haji, pulangnya tetap saja seekor onta”. Tidak ada perubahan ke arah yang lebih baik.
Maka, penting bagi kita untuk mengingatkan kaum Muslimin yang memiliki kelebihan harta dan berkesempatan untuk haji agar meluruskan niat, akan menjadi golongan yang mana diantara dua golongan jamaah haji itu? Dan terutama mereka yang sudah bergelar Haji dan Hajjah, agar mereka menjadi pelopor kebajikan di wilayah tempat tinggal mereka masing-masing, untuk membantu orang-orang yang membutuhkan bantuan.
Introspeksi
Kini, saat kita bersimpuh di haribaan Ilahy, dan beberapa bulan lagi kita akan memasuki tahun baru dan bersiap-siap menghadapi Pilpres 2014. Negara kita menghadapi begitu banyak persoalan hidup, dengan berbagai kejadian serta pengalaman yang memedihkan, seakan kita sedang berdiri di tepian jurang, pada malam gelap gulita. Bangsa Indonesia, tengah menuai akibat dari kelakuan manusia-manusia tidak bermoral, ingkar dan tidak tunduk pada aturan Allah dalam menyuburkan bumi dan mengelola pemerintahan negara.
Kualitas sebuah negeri ditentukan oleh kualitas mayoritas penduduknya, bukan oleh kondisi golongan minoritasnya. Nagara-negara asing masih menilai Indonesia sebagai negeri ‘terbelakang’ karena mayoritas penduduknya umumnya masih miskin, menjadi TKI dan TKW, sedang pendidikan rata-rata setingkat SD, dan kesehatan masyarakatnya rendah.
Sungguh memperihatinkan. Dalam pengelolaan bangsa dan negara, posisi umat Islam kian lemah, terpinggirkan, dan panggung kekuasaan berpindah-pindah dari tangan penguasa yang satu kepada penguasa lainnya, semuanya menolak Syari’at Islam. Memang benar, pejabat negara, menteri, termasuk anggota partai berbasis agama, nasionalis maupun sekuler, mayoritas beragama Islam. Akan tetapi keadaan mereka seperti firman Allah:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُعْجِبُكَ قَوْلُهُ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيُشْهِدُ اللهَ عَلَى مَا فِي قَلْبِهِ وَهُوَ أَلَدُّ الْخِصَامِ (204) وَإِذَا تَوَلَّى سَعَى فِي الْأَرْضِ لِيُفْسِدَ فِيهَا وَيُهْلِكَ الْحَرْثَ وَالنَّسْلَ وَاللهُ لَا يُحِبُّ الْفَسَادَ (205)
“Wahai Muhammad, ada orang-orang yang jika berbicara tentang kehidupan dunia ini mempesona kamu. Orang itu bersumpah dengan nama Allah bahwa dia mencintai Islam, padahal sebenarnya dia sangat keras mengingkari kebenaran Islam. Wahai Muhammad, apabila orang itu berpisah dari kamu, dia melakukan perbuatan-perbuatan dosa, merusak pertanian dan peternakan. Allah tidak menyukai perbuatan-perbuatan dosa semacam itu.” [Al-Baqarah, 2: 204-205]
Ayat ini membongkar identitas dan jiwa aportunis manusia. Banyak di antara tokoh Islam yang lihai berbicara tentang ajaran Islam dan mempesona pendengarnya, seolah-olah dia pembela Islam. Mereka meyakinkan masyarakat tentang ketulusan dan kebaikannya, padahal hatinya penuh dengan kedengkian, culas dan menentang Islam. Mereka merajut dusta, sehingga berbeda omongan dan fakta. Padahal mereka punya kesempatan dan otoritas di pemerintahan untuk meninggikan Islam, tapi tidak dilakukan. Bahkan mereka menjadi penentang berlakunya syari’ah Islam di lembaga negara.
Kaum munafik pandai memoles diri dengan kata-kata. Di depan orang Islam nampak lebih Islami dari orang Islam lainnya. Sebaliknya di depan orang kafir, dia lebih berani memusuhi Islam daripada orang kafir. Mereka memuji kebaikan Islam, tapi diajak memperjuangkan Islam tidak mau. Mereka mengkritik kebobrokan sistem komunis dan kapitalis, tapi diajak melaksanakan sistem Islam mereka menolak. Inilah hasil bimbingan setan, mereka kehilangan akal sehat dan terjauh dari rahmat Ilahi.
Sejak awal kemerdekaan para ulama dan politisi muslim menawarkan jalan selamat dengan menerapkan Syari’at Islam, tapi selalu diabaikan. Kaum nasionalis sekuler malah menerima ‘petunjuk’ orang kafir dalam segala urusan. Akibatnya, negeri ini terjerumus pada kesesatan, syirik dan berbagai kejahatan yang hanya merisaukan kehidupan dan merusak pergaulan. Keadaan mereka seperti firman Allah:
وَإِذَا قِيلَ لَهُ اتَّقِ اللهَ أَخَذَتْهُ الْعِزَّةُ بِالْإِثْمِ فَحَسْبُهُ جَهَنَّمُ وَلَبِئْسَ الْمِهَادُ (206)
“Jika ada orang yang mengingatkannya: “Takutlah kamu kepada Allah” maka orang itu dengan congkak meneruskan perbuatan dosanya. Cukuplah baginya neraka Jahanam. Adapun neraka Jahanam adalah tempat tinggal yang sangat buruk.” [Al-Baqarah, 2: 206]
Bila mereka diminta untuk beragama Islam secara kaffah, mereka berdalih negeri kita adalah negeri pluralis, menghormati semua keyakinan agama. Tapi giliran diminta supaya hukum di Indonesia juga diberlakukan prinsip pluralis, mereka menentang dengan keras. Jika konsekuen dengan paham pluralisme, maka di Indonesia seharusnya tidak hanya berlaku satu macam hukum, tapi semua macam hukum berhak untuk dijalankan sesuai aspirasi kelompok masyarakat yang menuntutnya. Tapi, bila kita menuntut hal semacam ini, kelompok nasionalis yang bangga dengan bhinneka tunggal ika menuduh lawannya sebagai anti NKRI, memaksakan kehendak, politisasi SARA dan sebagainya.
Namun demikian, menghadapi penolakan pengamalan syari’at Islam, harus dilakukan secara cerdas. Jangan bereaksi menggunakan filsafat korek api. Punya kepala tetapi tidak punya otak. Setiap kali terjadi gesekan kecil, korek api itu langsung terbakar dan membakar. Kita memiliki kepala dan otak, karena itu jangan bereaksi seperti korek api, mudah dibakar dan diadu domba oleh orang kafir. Umat Islam jangan disibukkan dengan fanatisme sektarian, lebih senang berkelahi dengan sesama Muslim dan membiarkan musuhnya menghancurkan rumah Islam.
Marilah kita muhasabah, meluruskan aqidah dan memperbaiki akhlak, sekaligus koreksi total atas dosa serta kesalahan yang selama ini kita lakukan. Momentum Idul Adha kita jadikan kesempatan untuk instrospeksi. Jadikan segala tantangan sebagai saksi atas segala ikhtiar perjuangan yang kita lakukan.
Kita memang tidak dapat mengubah arah angin, tetapi bukankah kita dapat mengatur layar perahu ke arah tujuan kita berlayar? Mari kita ber-Islam tidak dengan retorika, tetapi dengan mengamalkan tuntunan Islam secara kaffah, baik dimensi pribadi, keluarga, bangsa dan negara, demi terwujudnya Indonesia yang sejahtera dalam bingkai kemanusiaan yang adil dan beradab. Untuk itu renungkan, perhatikan, dan laksanakan firman Allah ini:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ (208)
“Wahai kaum mukmin, ikutilah syari’at Islam itu seluruhnya. Janganlah kalian mengikuti bujukan-bujukan setan. Sungguh setan itu adalah musuh kalian yang nyata-nyata merugikan kalian.” [Al-Baqarah, 2: 208]
Fastabikhul Khairat
- Miskin iman, Miskin Ilmu, Miskin harta - 27/02/2019
- KEKUATAN BADAN, CIRI KHAS MUKMIN YANG ALLAH CINTAI - 25/02/2019
- Sebab Tidak Mendapat Manfaat Ilmu - 08/12/2018
Tinggalkan komentar