أَمْ حَسِبْتُمْ أَن تَدْخُلُواْ الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُم مَّثَلُ الَّذِينَ خَلَوْاْ مِن قَبْلِكُم مَّسَّتْهُمُ الْبَأْسَاء وَالضَّرَّاء وَزُلْزِلُواْ حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُواْ مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللّهِ أَلا إِنَّ نَصْرَ اللّهِ قَرِيبٌ -٢١٤–
Ataukah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) seperti (yang dialami) orang-orang terdahulu sebelum kamu. Mereka ditimpa kemelaratan, penderitaan dan diguncang (dengan berbagai cobaan), sehingga Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya berkata, “Kapankah datang pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat. (Qs. Al- Baqorah Ayat 214)
Imam Malik bin Anas
Imam Malik disiksa karena mempertahankan prinsip fatwanya sewaktu menjadi Mufti Madinah. Pendapatnya berlawanan dengan Gubernur. Kemudian Imam Malik dihukum dengan dera dan diikat dengan tali dan dinaikkan ke atas punggung unta, lalu diarak keliling kota Madinah. Ia tidak pernah takut menerima hukuman asalkan ia berada pada jalan kebenaran. Karena memang setiap perjuangan itu memerlukan pengorbanan. .
Imam Al-Laits, seorang alim menjadi mufti Mesir. Ketika itu, saat mendengar Imam Malik dihukum lantaran fatwanya, ia berkata, “Aku mengharap semoga Allah mengangkat derajat Imam Malik atas setiap pukulan yang dijatuhkan kepadanya, menjadikan satu tingkat baginya masuk ke surga”
Imam Abu Hanifah
Sifat keberanian beliau adalah berani menegakkan dan mempertahankan kebenaran. Untuk kebenaran ia tidak takut sengsara atau apapun bahaya yang akan diterimanya. Dengan keberaniannya itu beliau selalu mencegah orang-orang yang melakukan perbuatan mungkar, kerana menurut Imam Hanafi kalau kemungkaran itu tidak dicegah, bukan orang yang berbuat kejahatan itu saja yang akan merasakan akibatnya, melainkan semuanya, termasuk orang-orang baik yang ada di tempat tersebut. Sebagian dilukiskan dalam sebuah hadits Rasulullah SAW “bahwa bumi ini diumpamakan sebuah bahtera yang didiami oleh dua kumpulan. Kumpulan pertama adalah terdiri dari orang-orang yang baik sementara kumpulan kedua terdiri dari orang- orang yang jahat. Kalau kumpulan jahat ini hendak merusak bahtera dan kumpulan baik itu tidak mau mencegahnya, maka seluruh penghuni bahtera itu akan binasa. Tetapi sebaliknya jika kumpulan yang baik itu mau mencegah perbuatan orang-orang yang mau membuat kerusakan di atas bahtera itu, maka semuanya akan selamat”. Sifat Imam Hanafi yang lain adalah menolak kedudukan tinggi yang diberikan pemerintah kepadanya. Ia menolak pangkat dan menolak uang yang diberikan kepadanya. Akibat dari penolakannya itu ia ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara. Di dalam penjara ia disiksa, dipukul dan sebagainya. Gubernur Iraq pada waktu itu berada di tangan Yazid bin Hurairah Al-Fazzari. Selaku pemimpin ia tentu dapat mengangkat dan memberhentikan pegawai yang berada di bawah kekuasaannya. Pernah pada suatu ketika Imam Hanafi
akan diangkat menjadi ketua urusan perbendaharan negara (Baitul mal), tetapi pengangkatan itu ditolaknya. Ia tidak mau menerima kedudukan tinggi tersebut. Sampai berulang kali Yazid menawarkan pangkat itu kepadanya, namun tetap ditolaknya. Pada waktu yang lain Yazid menawarkan pangkat Kadi (hakim) namun tetap juga ditolaknya. Rupanya Yazid tidak senang melihat sikap Imam Hanafi tersebut. Seolah- olah Imam Hanafi memusuhi pemerintah, kerana itu timbul rasa curiganya. Akhirnya ia diselidiki dan diancam akan dihukum dengan hukum dera. Ketika Imam Hanafi mendengar ancaman hukum dera itu Imam Hanafi menjawab: “Demi Allah, aku tidak akan mengerjakan jabatan yang ditawarkan kepadaku, sekalipun aku akan dibunuh oleh pihak kerajaan.” Demikian beraninya Imam Hanafi dalam menegakkan pendirian hidupnya. Pada suatu hari Yazid memanggil para ‘alim-‘ulama ahli fiqih yang terkemuka di Iraq, mereka dikumpulkan di muka istananya. Di antara mereka yang datang ketika itu adalah Ibnu Abi Laila. Ibnu Syblamah, Daud bin Abi Hind dan lain-lain. Kepada mereka, masing-masing diberi kedudukan resmi oleh Gubernur. Ketika itu gubernur menetapkan Imam Hanafi menjabat sebagai Ketua Sekretaris gubernur. Tugasnya adalah bertanggungjawab terhadap keluar masuknya uang negara. Gubernur dalam memutuskan jabatan itu disertai
dengan sumpah, “Jika Abu Hanifah tidak menerima pangkat itu niscaya ia akan dihukum dengan pukulan.” Walaupun ada ancaman seperti itu, Imam Hanafi tetap menolak jabatan itu, bahkan ia tetap tegas bahwa ia tidak mau menjadi pegawai kerajaan dan tidak mau campur tangan dalam urusan negara. Kerana sikapnya itu, akhirnya baliau ditangkap oleh gubernur. Kemudian dimasukkan ke dalam penjara selama dua minggu, lima belas hari kemudian baru dipukul sebanyak 14 kali pukulan, setelah itu baru dibebaskan. Beberapa hari sesudah itu gubernur menawarinya menjadi kadi, juga ditolaknya. Kemudian ditangkap lagi dan dijatuhi hukuman dera sebanyak 110 kali dengan setiap hari didera sebanyak sepuluh kali pukulan. Namun demikian Imam Hanafi tetap dengan pendiriannya. Sampai ia dilepaskan kembali setelah cukup 110
kali cambukan. Walaupun demikian ketika Imam Hanafi disiksa ia sempat berkata. “Hukuman dera di dunia lebih ringan daripada hukuman neraka di akhirat nanti.” Ketika ia berusia lebih dari 50 tahun, jabatan Khalifah saat itu berada di tangan Marwan bin Muhammad. Imam Hanafi juga menerima ujian. Kemudian pada tahun 132 H. sesudah dua tahun dari hukuman tadi terjadilah pergantian kekuasaan, dari tangan Dinasti Umaiyyah ke tangan Dinasti Abbasiyyah, Khalifahnya bernama Abu Abbas as-Saffah. Pada tahun 132 H sesudah Abu Abbas meninggal dunia diganti dengan Khalifah yang baru bernama Abi Ja’far Al-Mansur, saudara muda dari Abul Abbas as Saffah. Saat itu Imam Abu Hanifah telah berusia 56 tahun. Namanya masih tetap harum sebagai ulama besar yang disegani. Seorang cendekiawan yang dengan cepat dapat menyelesaikan suatu persoalan. Suatu hari Imam Hanafi mendapat panggilan dari baginda Al-Mansur di Baghdad, agar ia datang mengadap ke istana. Sesampainya ia di istana Baghdad, ia ditetapkan oleh baginda menjadi kadi (hakim) kerajaan Baghdad. Dengan tawaran tersebut, salah seorang pegawai negara bertanya: “Adakah guru tetap akan menolak kedudukan baik itu?” Dijawab oleh Imam Hanafi “Amirul mukminin lebih kuat membayar kifarat sumpahnya daripada saya membayar sumpah saya.” Kerana ia masih tetap menolak, maka diperintahkan kepada pengawal untuk menangkapnya, kemudian dimasukkan ke dalam penjara di Baghdad. Pada saat itu ulama terkemuka di Kufah berjumlah tiga orang. Salah satu di antaranya ialah Imam Ibn Abi Laila. Ulama ini sejak pemerintahan Abu Abbas as- Saffah telah menjadi mufti kerajaan untuk kota Kufah. Kerana sikap Imam Hanafi itu, Imam Abi Laila pun dilarang memberi fatwa. Pada suatu hari Imam Hanafi dikeluarkan dari penjara kerana mendapat panggilan dari Al-Mansur, tetapi ia tetap menolak. Baginda bertanya, “Apakah engkau menyuaki keadaan seperti ini?” Dijawab oleh Imam Hanafi: “Wahai Amirul Mukminin semoga Allah memperbaiki Amirul Mukminin. Wahai Amirul Mukminin, takutlah kepada Allah, janganlah bersekutu dalam kepercayaan dengan orang yang tidak takut kepada Allah. Demi Allah saya bukanlah orang yang dapat dipercaya di waktu tenang, maka bagaimana saya akan dipercaya di waktu marah, sungguh saya tidak layak diberi jabatan itu.” Baginda berkata lagi: “Kau berdusta, kau pantas dan layak memegang jabatan itu.” Dijawab oleh Imam Hanafi: “Amirul Mukminin, sungguh baginda telah menetapkan sendiri, jika saya benar, saya telah menyatakan bahwa saya tidak patut memegang jabatan itu. Jika saya berdusta, maka bagaimana baginda akan mengangkat seorang maulana yang dipandang rendah oleh bangsa Arab. Bangsa Arab tidak akan rela diadili oleh seorang golongan hakim seperti saya.” Pernah juga terjadi, baginda Abu Jaffar Al-Mansur memanggil tiga orang
ulama besar ke istananya, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Sufyan ats-Tauri dan Imam Syarik an-Nakhaei. Setelah mereka hadir di istana, maka ketiganya ditetapkan untuk menduduki pangkat yang cukup tinggi dalam kenegaraan, masing- masing diberi surat pelantikan tersebut. Imam Sufyan ats-Tauri diangkat menjadi kadi di Kota Basrah, lmam Syarik diangkat menjadi kadi di ibu kota. Adapun Imam Hanafi tidak mau menerima pengangkatan itu di manapun ia diletakkan. Pengangkatan itu disertai dengan ancaman bahawa siapa saja yang tidak mau menerima jabatan itu akan didera sebanyak l00 kali deraan. Imam Syarik menerima jabatan itu, tetapi Imam Sufyan tidak mau menerimanya, kemudian ia melarikan diri ke Yaman. Imam Abu Hanifah juga tidak mau menerimanya namun tidak berusaha melarikan diri. Oleh sebab itu Imam Abu Hanifah dimasukkan kembali ke dalam penjara dan dijatuhi hukuman sebanyak 100 kali dera. Setiap pagi dipukul dengan cambuk sementara dileher beliau dikalungkan rantai besi yang berat. Suatu kali Imam
Hanafi dipanggil baginda untuk mengadapnya. Setelah tiba di depan baginda, lalu diberinya segelas air yang berisi racun. Ia dipaksa meminumnya. Setelah meminum air yang beracun itu beliau kembali dimasukkan ke dalam penjara. Imam Hanafi wafat dalam keadaan menderita di penjara pada usia 70 tahun. Imam Hanafi menolak semua tawaran yang diberikan oleh kerajaan daulah Umaiyyah dan Abbasiyah karena beliau tidak sesuai dengan corak pemerintahan yang mereka kendalikan. Oleh sebab itu mereka berusaha mengajak Imam Hanafi untuk bekerjasama mengikuti gerak langkah mereka, dan akhirnya mereka siksa hingga meninggal.
Imam As-syafi’i
Ketika Imam Syafi’i di Yaman, beliau diangkat menjadi setiausaha dan penulis istimewa Gabenor di Yaman, sekaligus menjadi guru besar di sana. Karena beliau termasuk orang pendatang, secara tiba-tiba memangku jabatan yang tinggi, maka banyak orang yang memfitnah beliau. Ahli sejarah telah menceritakan bahwa waktu sultan Harun Ar- Rasyid sedang marah terhadap kaum Syiah, sebab golongan tersebut berusaha untuk meruntuhkan kekuasaan Abbasiyah, mereka berhasrat mendirikan sebuah kerajaan Alawiyah yaitu keturunan Sayyidina Ali bin Abi Talib. Karena itu di manapun kaum Syiah berada mereka diburu dan dibunuh. Suatu kali datang surat baginda Sultan dari Baghdad. Dalam surat yang ditujukan kepada Wali negeri itu diberitahukan supaya semua kaum Syiah ditangkap. Untuk pertama kali yang paling penting adalah para pemimpinnya, jika pekerjaan penangkapan telah selesai semua mereka akan dikirimkan ke Baghdad. Semuanya harus dibelenggu dan dirantai. Imam Syafi’i juga ditangkap, sebab di dalam surat tersebut bahwa Imam Syafi’i termasuk dicurigai mereka. Peristiwa itu terjadi ketika bulan Ramadhan, Imam Syafi’i dibawa ke Baghdad dengan dirantai kedua belah tangannya. Dalam keadaan dibelenggu itu para tahanan disuruh berjalan kaki mulai dari Arab Selatan (Yaman) sampai ke Arab Utara (Baghdad), yang menempuh perjalanan selama dua bulan. Sampai
di Baghdad belenggu belum dibuka, yang menyebabkan darah-darah hitam melekat pada rantai-rantai yang mengikat tangan mereka. Pada suatu malam pengadilan pun dimulai. Para tahanan satu persatu masuk ke dalam bilik pemeriksaan. Setelah mereka ditanya dengan beberapa kalimat, mereka dibunuh dengan memenggal leher tahanan tersebut. Supaya darah yang keluar dari leher yang dipotong itu tidak berserak, ia dialas dengan kulit binatang yang diberi nama dengan natha’. Imam Syafi’i dalam keadaan tenang menunggu giliran, dengan memohon keadilan kepada Allah SWT. Kemudian beliau dipanggil ke hadapan baginda Sultan. Imam Syafie menyerahkan segalanya hanya kepada Allah SWT. Dengan keadaan merangkak karena kedua belah kaki beliau diikat dengan rantai, Imam Syafie menghadap Sultan. Semua para pembesar memperhatikan beliau. “Assalamualaika, ya Amirul Mukminin wabarakatuh.”
Demikian ucapan salam beliau kepada sultan dengan tidak disempurnakan iaitu “Warahmatullah.” “Wa alaikassalam warahmatullah wabarakatuh.” Jawab sultan. Kemudian baginda bertanya: “Mengapa engkau mengucap salam dengan ucapan yang tidak diperintahkan oleh sunnah, dan mengapa engkau berani berkata- kata dalam majelis ini sebelum mendapat izin dari saya?” Imam Syafi’i menjawab: “Tidak saya ucapkan kata “Warahmatullah” karena rahmat Allah itu terletak dalam hati sultan sendiri.” Mendengar kata-kata itu hati baginda jadi lembut. Kemudian Imam Syafi’i membaca surah An-Nur ayat 55 yang bermaksud: “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara
kamu dan mengerjakan amal-amal yang shaleh bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sesungguhnya Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhaiNya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa.” Setelah membaca ayat di atas kemudian Imam Syafi’i berkata: “Demikianlah Allah telah menepati janjiNya, kerana sekarang sultan telah menjadi khalifah, jawaban salam baginda tadi membuat hati saya menjadi aman.” Hati sultan menjadi bertambah lembut. Sultan Harun ar Rasyid bertanya kembali: “Kenapa engkau menyebarkan faham Syiah, dan apa alasanmu untuk menolak tuduhan atas dirimu.” “Saya tidak dapat menjawab pertanyaan sultan dengan baik bila saya masih dirantai begini, jika belenggu ini dibuka Insya-Allah saya akan menjawab dengan sempurna. Lalu sultan memerintahkan kepada pengawal untuk membukakan belenggu yang mengikat lmam Syafi’i itu. Setelah rantai yang membelenggu kedua kaki dan tangannya itu dibuka, maka Imam Syafie duduk dengan baik kemudian membaca surah Hujarat ayat 6: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasiq yang membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” “Ya Amirul Mukminin, sesungguhnya
berita yang sampai kepada sultan itu adalah dusta belaka. Sesungguhnya saya ini menjaga kehormatan Islam. Dan sultanlah yang berhak memegang adab kitab Allah karena sultan adalah putera bapak saudara Rasulullah SAW yaitu Abbas. Kita sama-sama menghormati keluarga Rasulullah. Maka kalau saya dituduh Syiah kerana saya sayang dan cinta kepada Rasulullah dan keluarganya, maka demi Allah, biarlah umat Islam sedunia ini menyaksikan bahwa saya adalah Syiah. Dan tuan-tuan sendiri tentunya sayang dan cinta kepada keluarga Rasulullah.” Demikian jawab Imam Syafi’i. Sultan Harun ar Rasyid pun menekurkan kepalanya kemudian ia berkata kepada Imam Syafi’i: “Mulai hari ini bergembiralah engkau agar lenyaplah perselisihan antara kami dengan kamu, karena kami harus memelihara dan menghormati pengetahuanmu wahai Imam Syafi’i.” Demikianlah kehidupan Imam Syafie sebagai ulama besar, yang tidak lepas dari berbagai cobaan serta siksaan dari pihak yang tak mengerti akan hakikat kebenaran yang sesungguhnya. Hanya ketabahan dan keimanan serta pengetahuanlah yang dapat menghadapi setiap cobaan itu sebagai suatu ujian dari Allah SWT yang harus kita hadapi.
Imam Ahmad bin hanbal
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah hidup pada zaman yang mana penguasayang bernama Khalifah al Ma’mun yang mewajibkan pada rakyatnya untuk mengatakan sebuah kalimat kufur yakni ”al Qur’an adalah Makhluk” , dengan keimanan beliau yang kuat berpegang diatasnya dan beliau adalah ulama umat yang membawa banyak kaum muslimin, dimana angkah beliau dalam menanggapi perintah penguasa dzalim al Ma’mun untuk mengatakan “al Qur’an adalah makhluk” ini dinantikan oleh banyak kaum muslimin, kiranya Al Imam mengatakan al Qur’an adalah makhluk maka kaum muslimin serentak mengatakan demikian, namun al Imam Ahmad bin Hanbal dengan keimanan yang kuat tidak mengucapkan kalimat kufur tersebut, dan dengan sikap beliau yang teguh untuk tidak mengatakan al Qur’an Makhluk mengakibatkan beliau di penjara, dirantai serta disiksa oleh pecut yang mana jika pecut itu ditimpa pada anak unta maka anak unta tersebut akan mati, ini membuktikan betapa keras pecutan tersebut pada imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah, perlu
diketahui kita sebagai muslim wajib mengimani bahwa al Qur’an adalah kalamullah Bukan Makhluk.. al Qur’an adalah perkataan Allah bukan makhlu
DIRANTAI DAN DIANCAM DIBUNUH DENGAN PEDANG Dalam keadaan terbelenggu rantai, Imam Ahmad menghadap penguasa dzalim al Ma’mun sementara hukuman berat telah mengancam
dirinya sebelum dia sampai ketempatnya, sehingga pembantu imam ahmad berkata kepada al
Imam : “Aku Sungguh khawatir wahai Abu Abdillah (Imam Ahmad), sebab al Ma’mun telah menghunuskan pedangnya yang selama ini belum pernah dia lakukan, dan atas kerabatnya
dengan Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dia telah bersumpah, jika engkau tidak menuruti
kehendaknya untuk menyatakan bahwa Al Qur’an adalah Makhluk niscaya dia akan membunuhmu
dengan pedang tersebut.” [ al Bidayah wan Nihayah 1/332 ] Dari riwayat diatas mengisahkan
bahwa pembantu Imam Ahmad tidak ingin terjadi pembunuhan kepada al imam, maka pembantu al
imam memberi usul pada al Imam untuk menuruti perkataan al Ma’mun yang penting hati kita tidak
menyetujuinya, Namun al Imam Ahmad tetap teguh pada imannya dan tidak ingin mengucapkan
kalimat kufur itu. Disisi lain ada seseorang bernama Abu Ja’far al Anbari, kemudian beliau saking
ingin mensuport al imam dalam menghadap al Ma’mun sampai berkorban melewati sungai eufrat, Abu Ja’far al Anbari berkata : “Aku diberitahu saat Imam Ahmad dibawa menghadap al Ma’mun, maka aku
segera menyebrangi sungai eufrat, setelah tiba aku dapati Imam Ahmad
ditempatnya, maka aku member I salam padanya” lalu Imam Ahmad berkata padaku :
“Wahai Abu Ja’far, engkau telah menyusahkan dirimu,” ( maksud Imam ahmad “Ngapain jauh-jauh
kesini, hanya menyusahkan dirimu saja “) lalu aku menjawab : “Wahai Imam, engkau sekarang ini adalah pemimpin umat dan semua orang mengikutimu, Demi Allah jika engkau mengakui al Qur’an adalah Makhluk, niscaya semua orang akan mengatakan yang serupa padamu, dan jika engkau tidakmengucapkanya maka orang banyak tidak mengucapkanya, sementara itu jika engkau tidak mati
dibunuh oleh al Ma’mun, toh engkau juga akan mati, bertakwalah pada Allah dan jangan turuti kemauan mereka”. Maka Imam Ahmad Menangis seraya berkata “Masya Allah”. Kemudian beliau berkata : “Wahai Abu Ja’far Ulangilah…”, maka aku mengulanginya dan beliau berkata :
“Masya Allah”. Riwayat diatas menjelaskan betapa pentingnya peran dari seorang Imam Ahmad Bin Hanbal sebagai Ulama pada masa-nya , dengan kata lain bahwa umat senantiasa menunggu fatwa beliau agar kaum muslimin bersikap sesuai fatwa beliau, ini membuktikan al Imam Ahmad adalah Ulama panutan pada masanya sampai-sampai abu ja’far menyeberangi sungai eufrat, yang awalnya al Imam menggap itu perkara yang menyusahkan abu ja’far sedangkan abu ja’far hanya menyampaikan kepada Al Imam untuk mensuport agar tidak mengatakan “al Qur’an Makhluk” maka Al Imam terharu dan menangis. [ Siyar a’lam Nubala] UMAT ISLAM MENARUH HARAPAN PADA IMAM AHMAD BIN HANBAL rahimahullah Dalam al Bidayah wan Nihayah, diriwayatkan bahwa seorangbaduiberkata kepada Imam Ahmad : “Wahai Imam, engkau adalahutusan umat, janganlah engkau mengecewakan mereka, engkau adalah pemimpin Umat, janganlah engkau memenuhi seruan al Ma’mun ( untuk mengatakan al Qur’an Makhluk ), sehingga mereka akan mengikutimu maka engkau akan
menanggung dosa-dosa mereka pada hari kiamat, jika engkau mencintai Allah maka bersabarlah,
atas apa yang engkau derita kini, mereka tidak ada penghalang antara engkau dan surga kecuali
selain terbunuhnya engkau” Lalu al Imam Ahmad berkata : “Ucapanya semakin menguatkan tekadku atas sikap aku ambil yakni menolak apa yang Al Ma’mun serukan padaku ( untuk mengatakan Al Qur’an Makhluk]” [al Bidayah wan Nihayah 1/332] Para Ulama yang tidak sependapat ditangkap dan
diinterogasi ke istana. Hampir semua ulama tidak berani menentang karena takut dihukum berat. Satu-satunya ulama yang tetap istiqomah menentang pendapat bahwa Al-Qur’an adalah makhluk
hanyalah Imam Ahmad bin Hanbal. Akibatnya beliau disiksa, dipukuli dan hampir saja dibunuh. Rupanya Allah menyelamatkan beliau karena tiba-tiba Khalifah Al Ma’mun meninggal secara mendadak di Tharsus, sehingga eksekusi hukuman mati kepada Imam Ahmad bin Hanbal tidak sampai
dilaksanakan. Sepeninggal Al Ma’mun, dua orang Khalifah penggantinya yaitu Al Muntashir dan Al-
Watsiq masih meneruskan kebijaksanaan mendukung kaum Mu’tazilah dan progandanya bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Selama itu Imam Ahmad bin Hanbal hidup dalam persembunyian dan
mengasingkan diri. Setelah Al-Watsiq, yang naik tahta adalah Khalifah Al-Mutawakil. Pada masa Al-
Mutawakil inilah propaganda bahwa Al-Qur’an adalah makhluk dihentikan sama sekali. Bahkan Khalifah menangkapi dan menghukum ulama-ulama Mu’tazilah yang dahulu menjadi pelopor utama
propaganda kemakhlukan Al- Qur’an. Khalifah Al Mutawakil sangat menghormati dan memuliakan
Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau dijadikan penasehat resmi istana, dan Khalifah mendukung penuh ajaran- ajaran Imam Ahmad bin Hanbal dan para ahli hadits.
Fastabikhul Khairat
- Miskin iman, Miskin Ilmu, Miskin harta - 27/02/2019
- KEKUATAN BADAN, CIRI KHAS MUKMIN YANG ALLAH CINTAI - 25/02/2019
- Sebab Tidak Mendapat Manfaat Ilmu - 08/12/2018
Tinggalkan komentar