Ujian yang diberikan oleh Allah SWT kepada hamba-Nya yang muslim bisa berupa dua hal: ujian yang berbentuk musibah dan ujian kenikmatan. Sering kali yang
pertama disebut oleh manusia sebagai ujian yang buruk dan yang kedua disebut
sebagai ujian yang baik. Namun, pada hakikatnya keduanya merupakan ujian dari
Allah. Keduanya memiliki potensi yang sama. Jika lulus menghadapinya akan
mendapatkan pahala dari Allah SWT. Firman Allah
أَمْ حَسِبْتُمْ أَن تَدْخُلُوا۟ ٱلْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُم مَّثَلُ ٱلَّذِينَ خَلَوْا۟ مِن قَبْلِكُم ۖ مَّسَّتْهُمُ ٱلْبَأْسَآءُ وَٱلضَّرَّآءُ وَزُلْزِلُوا۟ حَتَّىٰ يَقُولَ ٱلرَّسُولُ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مَعَهُۥ مَتَىٰ نَصْرُ ٱللَّهِ ۗ أَلَآ إِنَّ نَصْرَ ٱللَّهِ قَرِيبٌۭ
Artinya : Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.
Bagi orang yang beriman, sebenarnya ada rumus umum tentang ujian itu. Bahwa
seorang yang lebih kokoh keimanannya akan mendapatkan ujian yang lebih berat.
Dengan mudah kita bisa menganalogikan bahwa ujian murid SD lebih mudah
daripada ujian murid SMP. Sama halnya UAS BN bagi SMU lebih sulit daripada
UAS BN bagi siswa SMP. Kaidah itu berlaku dalam ujian hidup bagi seorang
mukmin; semakin besar keimanan, semakin berat ujiannya.
Rasulullah SAW pernah menjawab pertanyaan Saad bin Abi Waqash mengenai
tingkatan ujian itu.
Aku (Sa’ad bin Abi Waqash) bertanya: “Ya Rasulullah! Siapakah yang paling berat
Ujiannya?” Beliau menjawab, “Para Nabi, kemudian orang-orang yang semisalnya,
kemudian orang yang semisalnya. Seseorang akan diuji sesuai kadar agamanya.
Jika agamanya kuat, maka ujiannya akan bertambah berat. Jika agamanya lemah
maka akan …diuji sesuai kadar kekuatan agamanya.” (HR. Tirmidzi, An-Nasai, Ibnu
Majah; Shahih menurut Al-Albani)
Maka kita melihat betapa sejarah telah menceritakan bahwa ujian-ujian yang paling
berat dialami oleh para Nabi dan Rasul. Demikian pula ujian yang telah dihadapi
oleh salafus shalih dan para ulama’.
Jika keimanan berbanding lurus dengan besarnya ujian, sesungguhnya besarnya
pahala juga berbanding lurus dengan besarnya ujian. Semakin berat ujian seseorang
semakin besar pula pahala yang diperolehnya manakala ia lulus dalam
mengahadapinya. Dan ujian itu juga merupakan tanda cinta dari Allah buat hambahamba
terkasih-Nya.
Rasulullah SAW bersabda:
Sesungguhnya besarnya pahala tergantung dengan besarnya ujian. sesungguhnya,
apabila Allah mencintai suatu kaum, maka Dia mengujinya. Siapa yang ridha
dengan ujian itu, maka ia akan mendapatkan keridhaan-Nya. Siapa yang membenci
ujian itu, maka ia akan mendapatkan kemurkaan-Nya. (HR. Tirmidzi dan Ibnu
Majah, dishahihkan Al-Albani dalam As-Shahihah)
Jangan dikira bahwa ujian itu hanyalah musibah; sakit, kemiskinan, kesusahan,
keterbatasan, penderitaan, kecelakaan, dan sejenisnya. Kekayaan, kesenangan,
popularitas, jabatan, kepemimpinan, kekuasaan, dan sejenisnya juga merupakan
ujian. Bahkan ujian tipe kedua ini sering kali lebih berat. Dalam arti, tidak banyak
yang bisa menghadapinya dengan sikap yang benar lalu keluar sebagai pemenang
dalam pandangan Allah; lulus ujian.
Abdurrahman bin Auf pernah menggambarkan betapa beratnya ujian ini, dan betapa
banyaknya orang yang tidak lulus menghadapinya:
Kami diuji dengan kesusahan-kesusahan (ketika) bersama Rasulullah SAW dan kami
dapat bersabar. Kemudian kami diuji dengan kesenangan-kesenangan setelah beliau
wafat, dan kami pun tidak dapat bersabar. (HR. Tirmidzi; hasan menurut Al-Albani)
Tampaknya demikianlah sejarah mengatakan kepada kita; menguatkan apa yang
dikatakan Abdurrahman bin Auf. Banyak orang yang ketika diuji dengan kemiskinan
ia mampu menghadapinya dan justru kemiskinan itu semakin meningkatkan
ibadahnya dan menambah kedekatannya kepada Allah. Namun, begitu kaya, ia lupa
dengan ibadah-ibadah yang dulu dijalaninya.
Ada pula orang yang sebelumnya rajin ke masjid dan gemar berinfaq sewaktu
menjadi orang biasa. Namun saat Allah memberinya jabatan, ia justru lupa kepada
Allah dan menjadi tidak peka terhadap orang-orang yang dulu mendukungnya.
Secara institusi, ujian kenikmatan itu juga kerap mendekontruksi bangunan kebaikan
dalam organisasi yang dulunya bisa bersabar dalam keterbatasan.
Pendek kata, apapun yang menimpa kaum muslimin; baik itu ia sukai atau tidak ia
sukai, sesungguhnya adalah ujian. ada yang lulus ada yang tidak lulus dalam
menghadapinya. Dan kenikmatan, seringkali justru menjadi ujian yang lebih berat
dibandingkan kesusahan. Dan kita harus ikhlas dalam menjalani semua ketentuan dari Allah
Fastabihul khairat
- Miskin iman, Miskin Ilmu, Miskin harta - 27/02/2019
- KEKUATAN BADAN, CIRI KHAS MUKMIN YANG ALLAH CINTAI - 25/02/2019
- Sebab Tidak Mendapat Manfaat Ilmu - 08/12/2018
Tinggalkan komentar